navigasinews-online.preview-domain.com, Jakarta – Makanan bercita rasa pedas begitu melekat dalam kuliner Indonesia. Tak hanya pada hidangan utama seperti rendang dan ayam geprek, tetapi juga pada jajanan populer seperti mie lidi, seblak, hingga gorengan yang selalu disertai sambal.
Di kantin, jajanan bertabur bubuk cabai seperti mie lidi dan makaroni pedas tersedia dengan mudah. Sementara itu, di pinggir jalan, berbagai pedagang menyajikan aneka kudapan yang terasa kurang lengkap tanpa siraman saus sambal atau taburan cabai.
Jenisnya pun sangat beragam, mulai dari cireng pedas, aneka gorengan, hingga ayam geprek yang terkenal dengan sambalnya yang melimpah. Belum lagi gerai seblak dan mie pedas dengan kuah merah membara yang menggoda selera. Semua ini bahkan belum mencakup kuliner khas daerah yang menjadikan cabai sebagai bahan wajib dalam setiap hidangannya.
Semua ini menunjukkan betapa eratnya rasa pedas dengan kebiasaan makan orang Indonesia. Bahkan, ketika hidangan terasa kurang pedas, banyak orang tak ragu untuk menambahkan saus sambal sachet atau botolan yang mudah ditemukan di warung-warung.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan menarik: mengapa orang Indonesia begitu gemar menyantap makanan pedas? Secara teori gastronomi, rasa pedas lebih cocok dikonsumsi di daerah beriklim dingin karena dapat memberikan efek hangat pada tubuh. Namun, justru di Indonesia yang beriklim tropis, makanan pedas menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian.
Mengapa, meskipun tinggal di daerah tropis, orang Indonesia justru menjadikan makanan pedas sebagai bagian tak terpisahkan dari kuliner sehari-hari?
Sejarawan Fadly Rahman dalam bukunya Rijstaffel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 (2011) menyebut bahwa sambal menjadi hidangan wajib di meja makan orang Eropa di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan mereka akan penyeimbang, yaitu sensasi pedas yang dapat mengimbangi rasa dingin dari makanan yang mereka konsumsi.
Banyak orang beranggapan bahwa popularitas cita rasa pedas dalam kuliner Indonesia bertujuan untuk menutupi rasa atau aroma kurang sedap dari bahan makanan. Misalnya, ada yang percaya bahwa penggunaan cabai dalam masakan daging bertujuan menyamarkan bau amis atau tidak sedap. Namun, anggapan ini sebenarnya kurang tepat.
Penelitian terbaru yang dikutip oleh IFL Science mengungkapkan bahwa penggunaan rasa pedas dari rempah-rempah, termasuk cabai, oleh penduduk tropis—termasuk Indonesia—ternyata memiliki motif kesehatan. Rempah-rempah ini, seperti cabai, diketahui memiliki sifat anti-mikroba yang dapat membantu menjaga kebersihan makanan.
Sifat anti-mikroba ini dapat menghambat dan membunuh mikroorganisme yang ada pada makanan. Sebagai contoh, jahe dikenal efektif untuk melawan bakteri dan virus. Begitu pula dengan kunyit, lada, dan cabai, yang memiliki kemampuan serupa dalam membasmi bakteri dan virus. Dengan mengkombinasikan rempah-rempah ini dalam masakan, kita bisa membantu mencegah penyebaran penyakit yang dapat berkembang pada bahan makanan, terutama di iklim panas.
“Ketika digabungkan, rempah-rempah tersebut menunjukkan efek antibakteri yang lebih kuat dibandingkan jika digunakan secara terpisah. Itulah mengapa dalam banyak masakan, kita sering menemukan kombinasi berbagai rempah-rempah,” ungkap tim penulis yang dikutip IFL Science.
Meski demikian, hubungan antara penggunaan rempah-rempah dan suhu lingkungan jauh lebih kompleks daripada sekadar motif kesehatan yang diungkap dalam penelitian tersebut. Dengan kata lain, tidak ada satu faktor tunggal yang bisa menjelaskan mengapa orang Indonesia sangat menyukai masakan pedas.
Penggunaan rempah-rempah juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti ekonomi, interaksi budaya, dan lingkungan. Kemudahan dalam memperoleh rempah-rempah juga memainkan peran penting. Sebagai negara yang kaya akan rempah, Indonesia memudahkan masyarakat untuk mengaksesnya sebagai bahan makanan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika masyarakat sering menggunakan rempah-rempah dalam masakan mereka, bahkan tanpa menyadari adanya manfaat kesehatan di balik penggunaannya.