Pengunduran Jadwal Pelantikan Kepala Daerah Menyalahi Aturan?

JAKARTA, navigasinews.online – Pelantikan kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024 seharusnya dilaksanakan Kamis (6/2/2025), namun Pemerintah menunda pelantikan kepala daerah menjadi antara 18-20 Februari 2025 karena adanya informasi dari Mahkamah Konstitusi (MK) terkait jadwal sidang “Dismissal” terhadap permohonan sengketa pilkada sehingga pemerintah memutuskan akan menunggu putusan “Dismissal” tersebut, dengan alasan untuk memperbanyak kepala-wakil kepala daerah yang bisa dilantik serentak.

Penundaan pelantikan kepala daerah bisa dianggap melanggar aturan jika tidak mengikuti prosedur yang benar. Berdasarkan Putusan MK No. 27/PUU-XXII/2024, pelantikan kepala daerah harus dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi menyelesaikan sengketa hasil pilkada, tetapi hanya untuk kasus-kasus yang tidak dapat diterima atau ditolak, serta tidak terkait dengan daerah yang memerlukan pemilihan ulang, pemungutan suara ulang, atau penghitungan suara ulang.

Sementara, Anggota Komisi II Fraksi PKB, Mohammad Toha, menuturkan penundaan pelantikan ini dilakukan dengan alasan menunggu “putusan dismissal” dari MK yang terkait dengan sengketa pilkada. Meskipun keputusan ini tampaknya ingin memastikan lebih banyak kepala daerah yang bisa dilantik secara serentak, masalah utamanya adalah penentuan jadwal pelantikan tersebut tidak melibatkan Komisi II DPR, yang memiliki peran penting dalam pengawasan pelaksanaan pemilu dan pilkada.

Selain itu, keputusan untuk menunda pelantikan hingga 18-20 Februari 2025, meskipun dimaksudkan untuk menciptakan pelantikan serentak, bisa menimbulkan pertanyaan terkait dengan pelaksanaan ketentuan yang sudah jelas ditetapkan dalam undang-undang dan keputusan MK. Jika ada pihak yang merasa langkah ini tidak sesuai dengan aturan atau prosedur, mereka bisa menempuh jalur hukum atau meminta klarifikasi lebih lanjut.

“Secara keseluruhan, jika penundaan pelantikan dilakukan tanpa melibatkan DPR, dan tidak mengikuti arahan yang sudah ada dalam putusan MK, maka memang bisa dianggap sebagai penyalahan terhadap ketentuan yang berlaku. Pemerintah perlu lebih hati-hati agar keputusan ini tidak menciptakan masalah hukum lebih lanjut,” ujar Mohammad Toha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *